Yurike Kusumatara. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

"Thomas Martius"

Writen by Yurike Kusuma

Burung-burung menghambur ke barat, menggerombol dan berboyong. Tak ada safir seindah senja. Mahal benar harga senja. Burung gereja telah ribuan kilo melanglang buana, tak sekalipun mereka merugi karna tak dapat mengharu dalam indahnya sore. Bagai metafora dunia yang sering dimabuk kepayang.
Sore itu pula seorang ‘gadis’ yang kiranya telah menyelami lebih dari setengah abad sejak dia menyambut mentari, menikmati sore. Benar, sudah 22630 matahari terbit dia saksikan. Senja membuka Diary tua yang tengah dipangkunya. Jauh didalam goresan dan coretan tinta murah yang pudar jadi biru itu terdapat angan tentang keindahan masa SMA-nya dulu. Bermacam kisah yang lurus sebagai pelajar, belok kanan kepercintaan, dan kekiri sedikit atas kenakala tersimpan abadi dalam buku tua bergambar kamboja indah warna ungu itu. Selain semua tulisan tangan yang tertata rapi itu, terdapat beberapa gambaran tangan yang ‘katanya’ komik mini dalam lembaran kertas bungkus bakpao yang usang dan busuk sekali.
Mata tuanya tertuju pada sebuah tanda tangan dalam ‘komik’ tersebut. Kucing yang pergi jangan ditunggu....
Dia kian terbawa gerombolan burung ke masa lalunya. Tubuhnya, tatapannya, segala yang ada tetap disana. Dan tiba-tiba dalam benaknya sendiri, dia terbang jauh ke Madiun 1960. SMA Negeri 2 Madiun yang menitikan tinta warna-warni dalam tahun-tahun terdahsyat itu. Bersama ketigapuluh temannya dalam satu kelas sempit nan panas tiada tandingannya mereka belajar bersama.
Yang memberi pesan tadi tidak lain, tidak bukan, tidak salah dan tidak menyimpang adalah salah satu dari mereka. Thomas Martius. Pria tampa berparas indo keturunan Belanda anak mantan bupati yang katanya cicit ke-23 dari Van Mook.
“Dasar perempuan hanya bisa berpangku,” kata Thomas saat itu.
“Tidak mungkin terlahir kalian kalau perempuan hanya bisa berpangku!” jawab Senja dengan nada kesal.
Setiap hari mereka tidak pernah akur dan berteman. Kadang marah Senja memuncak karna ulah jail Thomas. Kadang malah Thomas yang marah hebat karna Senja selalu punya cara untuk membalas. Begitulah mereka berdua. Perbedaan suku, ras, dan bahkan agama mungkin yang membuat mereka tidak pernah bisa bersatu. Tapi, suatu saat kala Thomas meminta Senja mengajarinya ilmu ukur atas perintah gurunya mereka bisa sedikit bersatu.
“Senja, nama yang aneh. Tau tidak, Senja itu indah, setiap hari dia akan hadir, pasti. Dan tak akan ada yang memungkiri kalau senja selalu mereka tunggu. Senja membawa mereka keperistirahatan yang tenang nun indah dibalik tirai-tirai bambu,” kata Thomas tiba-tiba saat membahas trigonometri.
“Benarkah? Lalu apa pria buta angka sepertimu juga menunggu senja?”
“Tentu saja, setiap saat aku menunggu ‘senja’, menanti kapan gadis bermata tajam dan berhati putih sepertimu itu turun kehati pria tampan ini. Apa benar gadis yang tidak buta angka buta pada cinta?”
“Lalu, maksudmu aku ini hanya gadis penggerutu yang tidak bermutu sebagai remaja yang penuh cinta?” balas Senja.
“Tidak, suatu hari nanti kalau kau menemukan sungai berarus deras dan lebar, jangan berani-berani menyeberanginya atau menelusurinya sampai hulu. Karna tidak lain dan tidak bukan yang bisa kau temui hanya buaya-buaya lapar yang siap menerkam. Jangan berambisi kalau kau harus tetap berjalan kedepan atau berbalik kebelakang. Saat itu kau harus berhenti dan menunggu sampai sungai itu kering dan kau bisa menyeberanginya, Senja,” pesan Thomas.
Kini Senja baru sadar bahwa maksud Thomas adalah jangan terlalu memaksakan obsesi dan ambisi yang membuat dirimu sendiri mati. Thomas begitu mengenal Senja. Setiap hari Thomas membuat sketsa gambar-gambar dalam kertas usang tentang Senja. Banyak yang mengisahkan tentang keseharian Senja. Sehari setelah Thomas berbicara panjang tentang sungai antah berantah tersebut, dia sudah tidak nampak dibangku kayu lapuk paling pojok. Kabarnya dia dideportasi dari Indonesia. Karna ayahnya sudah harus segera pindah dari negeri tercinta ini. Senja tidak mengerti Thomas itu manusia seperti apa. Pria yang beraninya hanya mengucap saat mereka tidak bisa bertemu lagi atau pria yang tidak ingin menunjukan perasaannya.
Senja pun hanya bisa mengenang-ngenang segala rasa luar biasa padang savana yang Thomas berikan. Sekejap, namun berarti. Segala rasa cinta pertama yang susah digambarkan dengan tinta mahal sekalipun, berkecamuk dalam diri Senja yang tua.
Begitulah perkisahan cinta yang orang bilang cinta pertama para monyet-monyet piyik yang tak lain bertokohkan Senja dan Thomas. Senja merasa kehilangan sesuatu yang tidak pernah dia miliki sedetikpun. Hanya pesan dan coretan-coretan dalam kertas bungkus bakpao yang tersimpan rapi dalam Diary yang kian setia menjadi saksi dari hari kehari.

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar