Namaku Dinda. Aku punya sahabat yang bernama Luna. Kami bersahabat sejak kelas 1 SD. Sampai sekarang, kelas 9. Meskipun Luna menyebalkan, kami saling menyayangi. Dia dan aku berbeda, dia cantik, tinggi, pintar, lucu dan populer. Sementara aku? Hanya gadis pemalu yang sama sekali tidak paham semua mata pelajaran kecuali Agama Islam.
Luna lebih sering menyuruhku untuk mengikuti semua keinginannya. Aku menurut saja. Memang aku tidak berani untuk menentang Luna. Tiap sabtu kami pergi nonton film di rumah Luna. Rumahnya besar dan rapi. Semua fasilitas tersedia lengkap di rumahnya. Kalau rumahku, punya TV 14 inchi saja sudah untung. Ibu dan Ayahnya juga ramah, tapi kurang suka padaku. Berbeda dengan orang tuaku yang membenci Luna karena menghambat pergaulanku dengan yang lain. Menyebalkan!
Hari ini hari pertama kami masuk setelah libur semester satu. Waktunya memilih kegiatan pengembangan diri. Dan aku sudah sangat, sangat, sangat yakin untuk ikut klub Drama Musikal. Menurut pendapat Bu Farida (Pembina Drama Musikal) suaraku lumayan bagus. Apalagi, diakhir semester depan, akan diadakan pementasan Drama Musikal berjudul ‘Imagine’. Entah seperti apa ceritanya, tapi katanya, “Suaramu cocok untuk mengisi sahabat tokoh utama”, begitulah. Meskipun bukan pemeran utama, tidak masalah.
Baru aku menulis huruf depan namaku, Luna datang dan membuatku kaget. “Drama? Mau ikut drama, Din? Itukan ekskul paling gak populer disini? Lagian aku udah daftarin kamu di klub renang. Latihannya nanti sore…”, belum sempat aku menjawab, Luna malah berlari menjauh dengan pacar barunya, Caesar.
Aku paling tidak suka renang. Bahkan mungkin aku lupa caranya berenang. Tapi, Luna yang selalu memaksaku mengikuti semua kemauannya. Jadi aku diam dan menahan perasaan kesal. Luna memang sangat jago berenang.
Kolam renang sudah ramai. Aku dan Luna sudah bersiap memakai baju renang. Hanya saja aku lupa membawa kacamata renangku.
“Tenang deh, Din, kan ada aku?” katanya padaku. “Iya, Luna,” suaraku gemetar dan sedikit lirih. Kami disuruh mulai menceburkan diri ke kolam. Aku bener-bener takut kalau-kalau aku tenggelam.
Langit khas senja. Merah seperti terbakar. Aku dan Luna berjalan pulang. Mataku merah dan jidatku agak benjol. Itu akibat kejedot karena mataku buram bukan main.
“Aduuh, mata kamu merah deh, Din. Kayak…kayak kelinci putih, ahahahahaaaa…”, ejek Luna sambil menari-nari mengitariku. Tawanya terdengar khas orang menyebalkan yang sedang berbangga.
“Udah dong, Luna,” kataku entah kesikian kalinya. Pusing melihat Luna yang menari-nari terus seperti itu.
Dari kejauhan terdengar suara motor menderu-deru. Motor itu melaju jauh lebih cepat dari yang aku sangka. Menyerempet Luna yang memang tidak memperhatikan jalanan. Luna terjatuh ke tengah jalan. Kedua lututnya berdarah. Entah kenapa aku jadi diam saja. Dan Luna berusaha sendiri untuk bangun. Tapi naasnya lagi, tubuh Luna terlindas truk sapi yang tiba-tiba lewat. Seketika jantungku berdetak diperlambat. Tapi tubuh Luna tetap saja terkapar tanpa daya di jalan, menghela napas panjang tapi tidak menghembuskannya lagi. Luna sudah mati!
Semua menangis terisak di hadapan jenazah Luna yang tersenyum dan berselimut gaun yang paling abadi, kain kafan. Dulu kami sering gemes pada pocong. Lucu banget, kepalanya disimpul, dan membuat kami jadi pengen ngemut kepalanya karena bungkusnya kayak permen lolipop. Tapi sekarang, Luna sendiri yang dibungkus kafan. Ibunya, Ayahnya, Adiknya, Caesar, dan teman-temannya (teman Luna bukan berarti temanku, Luna itu populer dan banyak teman) menangis terisak tanpa henti.
Air mataku sudah habis semalam. Di bawah kasurku, aku menagis sampai pagi. Tidak ada yang tau kecuali kalian. Aku terus saja memandang Luna yang pucat tanpa napas. Aku tidak akan bisa melihat Luna lagi setelah ia dimasukkan ke dalam liang lahat. Aku pasti kangen!
“Aku cantik banget ya? Keliatan imut gitu,” kata seseorang di sebelahku. Suaranya sih tepat di kupingku, bahkan hawanya terasa dingin. Dan aku hafal, itu suara Luna.
“Iya,” jawabu lemas, pandanganku tak beralih dari jasad Luna. “Luna!” seruku beberapa saat setelah aku tersadar bahwa yang duduk di sampingku itu Luna.
“Iya bego, siapa lagi? Lagian, kamu kayak liat setan aja sih, Din?” katanya seakan tanpa dosa.
“Kamu kan udah… trus yang itu…,” aku benar-benar sangat bingung.
“Enak aja kamu nyangka aku setan! Aku bidadari tau! Mana ada setan cantik begini!”
Aku melihat kearah punggungnya, sama sekali tidak ada sayap merpati seperti layaknya bidadari.
Pagi ini Luna menemaniku pergi ke sekolah. Seperti biasa, kami pergi berjalan kaki. Aku melihat sangat banyak bunga ditempat Luna tertabrak kemarin. Sebagian besar bunga matahari, karena Luna suka itu. Kami bercanda dan terkadang aku tertawa keras saat melihat ulah Luna yang sangat lucu.
“Sssst! Mereka bisa ngira kamu gila!” kata Luna padaku saat segerombolan orang yang sedang berbelanja melihatku aneh. Lalu aku menutup mulutku saat itu juga.
Setiap orang di sekolah memperhatikanku. Sebelumnya, tidak sama sekali. Iqbal, teman sekelasku dan Luna yang biasa gaul dan cuek, menawarkan diri untuk duduk satu bangku denganku. Aku tidak tau apakah dulu semasa hidup Luna juga akrab dengannya atau pernah jadian. Tapi Luna melarang ada yang duduk di bangkunya.
“Alaaaah! Cowok basbus gitu! Dia itu cumam mau ngerayu kamu aja! Suruh pergi sana!” katanya dengan teriakan ala Luna yang melengking.
Aku menyuruh Iqbal pergi dengan sangat kasar. Meniru gaya Luna dan suaranya. Entah kenapa suaraku jadi melengking begini. Iqbal kembali duduk di belakang dengan wajah ditekuk.
“Luna, kan kasihan Iqbal. Mungkin dia juga mau berbagi atau mengenang kamu,”
Luna tidak menjawab dan pergi menghilang.
Luna muncul lagi saat jam ke-4, saat itu jam SBK, dia mengajakku bolos kelas dan ke kantin saja. Lalu aku menolak saat ia mulai mengajakku bolos Bahasa Indonesia. Dan dia menghilang lagi. Entah ke mana.
Pada istirahat pertama, Gendis mengajakku makan di warung bakso depan sekolah. Karena Luna pergi dan perutku lapar sekali, jadi aku putuskan untuk ikut. Tapi, saat Gendi memesankan bakso dan aku duduk menunggu, Luna datang lagi.
“Oooooooooooh oh my God!!! Ada setaaaan!” teriakannya terdengar dari bawah pohon yang memang sangat rindang. “Luna?” bisikku. “Kamukan juga setan,?”
“Idih, dia itu setan yang paling buruk sepanjang masa deh. Rambutnya panjang gak karuan, mukanya kroak, ngeri, Din,” katanya. “Apa lagi itu si Gendis, mukanya sama kayak tuh setan. Ngapain sih kamu makan bakso sama dia? Udah, balik aja deh ke kelas!” dia marah lagi.
Aku pergi tanpa pamit pada Gendis. Ku pikir, dengan begitu Luna akan baik dan muncul lagi. Tapi Luna malah me
0 komentar:
Posting Komentar